Jumat, 10 Oktober 2008

Alternatif Pacaran: Jodohan?

Intro

Teman saya menulis blog berjudul “Pacaran? Basi Tau!“. Setelah itu dia memberikan ke saya artikel-artikel dengan judul “Tidak Ada Pacaran Islami (Between Myth and Fact)” dan “TERNYATA (KATANYA) PACARAN ISLAMI ITU ADA LHO!”.

Tulisannya dan artikel-artikel tersebut membuat saya berpikir untuk yang kesekian kalinya tentang masalah ini. Pertanyaan yang selalu muncul adalah “Sebetulnya apa masalah sebenarnya?” dan “Ada nggak solusi Islaminya?”. Blog ini adalah rangkuman usaha saya untuk menjawab dua pertanyaan tersebut.

Kenapa Orang Berpacaran?

Dalam kehidupan sehari-hari, umumnya laki-laki berinteraksi dengan perempuan. Kalaupun tidak terjadi interaksi, terdapat banyak saat di mana laki-laki melihat perempuan dan sebaliknya (baik disengaja maupun tidak). Hal-hal yang telah disebutkan bisa menyebabkan seseorang tertarik ke lawan jenisnya. Tingkat ketertarikannya bisa beragam, namun setelah mencapai tingkat tertentu ketertarikan itu dinamakan orang sebagai “jatuh cinta”. Untuk memudahkan pembahasan ini, saya akan menggunakan istilah “pemimpi” untuk orang yang jatuh cinta dan “kekasihnya” untuk orang yang dicintai oleh pemimpi.

Sebetulnya apa yang diinginkan oleh pemimpi? Saya mengklaim bahwa tujuan pemimpi adalah MENIKAHI kekasihnya. Ingatlah tujuan tersebut baik-baik sebab itu akan menjadi acuan pembicaraan kita.

Sayangnya, bagi kebanyakan pemimpi terdapat halangan-halangan untuk menikah. Ada dua halangan yang bisa saya sebutkan di sini. Yang pertama adalah halangan finansial. Coba pikirkan mereka yang bersekolah di SMP, SMU, dan universitas. Sebagian besar dari mereka (atau kekasihnya) tidak akan mampu untuk menghidupi sebuah keluarga. Yang kedua adalah halangan umur. Menurut pemimpi, umurnya (atau kekasihnya) masih terlalu muda untuk bisa melakukan pernikahan yang diterima masyarakat.

Lalu apa solusi dari kedua masalah tersebut? Salah satu jawaban yang jelas adalah MENUNGGU. Seiring berjalannya waktu, pemimpi (beserta kekasihnya) akan bertambah umur dan (harapannya) mendapat pekerjaan. Lalu pemimpi bisa mengajak kekasihnya menikah.

Tapi tidak, kebanyakan pemimpi tidak menunggu! Mereka malah memulai dan menjalani hubungan yang disebut pacaran. Kenapa?

Alasannya sangat mudah dan sederhana: KEPEMILIKAN. Kalau kita pikirkan, pernikahan menjamin kepemilikan. Kalau pemimpi menikah dengan kekasihnya, maka mereka tidak akan menikah dengan orang lain (saya mengabaikan poligami dan poliandri untuk mempermudah pembicaraan kita).

Jadi, kalau pemimpi tidak bisa memiliki kekasihnya dalam ikatan pernikahan, dia akan mencari “hubungan sosial lain” yang juga menjanjikan kepemilikan (walupun dalam bentuk yang lebih lemah dari pernikahan). Ini untuk MENCEGAH kekasihnya dimiliki orang lain lebih dulu. Saat ini “hubungan sosial lain” yang tersedia adalah pacaran, maka merebaklah pacaran.

Rangkuman: Orang-orang berpacaran sebab mereka belum siap menikah namun tetap ingin memiliki kekasihnya. Dengan kata lain, mereka ingin mencegah kekasihnya dimiliki orang lain sebelum mereka sendiri bisa menikahinya.

Masalah pada Istilah “Pacaran”?

Pacaran (sebagaimana yang dilakukan banyak orang) berisi banyak aktivitas yang sebetulnya dilarang Islam: berdua-duaan, berpegangan tangan, berpelukan, dst. Ini berakibat bahwa saat dua orang berada dalam status “berpacaran”, terdapat “image” atau ekspektasi dari orang lain bahwa pasangan tersebut melakukan hal-hal yang telah disebutkan. Ini juga berakibat bahwa saat pemimpi “menembak” kekasihnya, kekasihnya berpikir bahwa mereka nanti akan melakukan hal-hal tersebut kalau sang kekasih menerima menjadi pacarnya.

Jadi, ikhwan yang mencintai seorang akhwat tapi belum siap menikah akan berhadapan dengan suatu dilema. Kalau ikhwan tersebut menunggu sampai siap, bagaimana kalau akhwat tersebut dinikahi orang lain lebih dulu? Untuk akhwat yang mencintai seorang ikhwan, pertanyaannya menjadi “Apakah dia akan memilih saya untuk menikah?”.

Bisa saja ikhwan dengan akhwat “berpacaran” dengan batasan-batasan tertentu agar “Islami”. Misalnya, dalam “berpacaran” tidak berduaan, bersentuhan, dsb. Sepertinya “pacaran” seperti itulah yang dimaksud saat orang mengatakan “pacaran Islami”. Tapi saya rasa ini lucu sebab istilah “pacaran” sudah begitu melekat dengan hal-hal seperti berduaan, bersentuhan, dsb. “Pacaran Islami” kedengarannya seperti suatu oxymoron.

Secara pelaksanaan, istilah “pacaran Islami” juga tidak begitu membantu saat pemimpi ingin “menembak” kekasihnya. Untuk mengajak pacaran (non-Islami) pemimpi tinggal mengatakan “Kamu mau nggak jadi pacarku?”. Simpel. Kalau ingin pacaran Islami, apakah harus mengatakan “Kamu mau nggak jadi pacarku? Tapi yang Islami. Maksudnya begini…”. Ukh, terlalu ribet.

Daripada menggunakan istilah “pacaran Islami”, bagaimana kalau digunakan istilah lain yang sama sekali tidak menggunakan kata “pacaran”? Kita didefinisikan dengan jelas maksud istilah baru tersebut lalu disosialisasikan.

Solusi: Hubungan Sosial Baru, Istilah Baru

Masalahnya telah ditemukan. Bagi kebanyakan pemimpi, pernikahan diinginkan namun tidak memungkinkan. Walaupun begitu mereka tetap menginginkan suatu bentuk kepemilikan (seberapapun lemahnya) sampai mereka bisa melangsungkan pernikahan. Satu-satunya alternatif yaitu “pacaran” menyulitkan mereka yang ingin Islami karena batasan “pacaran” tidak pernah jelas dan karena “pacaran” sebagaimana yang dilakukan banyak orang jelas-jelas tidak Islami. Kalau begitu, solusinya ya menciptakan jenis hubungan baru yang memberikan suatu bentuk kepemilikan namun tetap Islami.

Idealnya, hubungan jenis baru ini memiliki nama yang orisinil. Sayangnya saya tidak mendapatkan ide yang bagus (”racap”, kebalikan dari “pacar”, kedengarannya sangat jelek). Untuk itu saya akan menggunakan istilah yang sudah ada yaitu “jodoh”. Hubungan baru tersebut dideskripsikan pada dokumen berikut:

== Dokumen Panduan Perjodohan ==

1) Nama

“Jodoh” adalah nama relasi antara dua orang sebagaimana yang dipandu dalam dokumen ini.

Contoh penggunaan katanya adalah:

“Dia adalah jodohku.”
“Kami berjodohan.”
“Kamu sudah punya jodoh belum?”

2) Makna

Dengan berjodohan, kedua belah pihak menyatakan keinginannya untuk saling menikah jika keadaannya sudah memungkinkan.

Selama berjodohan kedua belah pihak setuju bahwa hubungannya diatur oleh syariat Islam (dalam hal ini berarti hubungan antara perempuan dengan laki-laki yang bukan mukhrimnya). Beberapa contohnya adalah:

* Tidak diperbolehkan untuk berduaan
* Tidak diperbolehkan berpandang-pandangan secara berlebihan
* Tidak diperbolehkan untuk bersentuhan (termasuk di antaranya berpegangan tangan, berpelukan, dan berciuman)

Dengan berjodohan, kedua belah pihak juga setuju untuk saling mengingatkan jika interaksi mereka melanggar syariat Islam.

3) Status

Dua orang bisa menjadi jodoh jika kedua belah pihak menginginkannya dan saling menyatakan keinginannya tersebut. Status jodoh bisa hilang jika salah satu pihak menyatakan keinginannya untuk berhenti berjodohan.

Dalam prakteknya, sesorang akan mengajak atau meminta orang lain untuk menjadi jodohnya, lalu pihak lain tersebut akan memberikan jawabannya. Aksi orang yang mengajak atau meminta disebut “memanah” (analoginya adalah “menembak” untuk meminta orang lain menjadi pacar.)

Contoh memanah:

“Aku suka kamu. Kamu mau nggak jadi jodohku?”

(tidak harus tatap muka, bisa saja melalui telepon, surat, maupun SMS (atau tatap lantai/dinding/jendela))

Contoh jawaban:

“Aku juga sebetulnya suka kamu. Ya, aku mau.”
“Aku pikir-pikir dulu. Nanti kukasih jawabannya besok.”
“Maaf, tapi aku suka orang lain.”
“Maaf, tapi aku sudah berjodohan.”

(Akhir dari Dokumen Panduan Perjodohan)

Pendefinisian “jodoh” yang jelas tersebut akan memudahkan baik pemimpi maupun kekasihnya. Untuk memanah, pemimpi tinggal mengatakan, “Kamu mau nggak jadi jodohku?” tanpa perlu menyertakan penjelasan yang panjang lebar. Kekasihnya juga akan mengerti segala konsekuensi jika menerimanya, sehingga bisa membuat keputusan yang sesuai.

Salah satu kekhawatiran orang tua kalau anaknya berpacaran adalah bahwa anaknya akan kelewatan. Ini karena hubungan “pacaran” tidak memiliki batasan yang jelas, sehingga orang tua tidak akan tahu apakah anaknya yang berpacaran hanya sebatas bergandengan tangan, berpelukan, berciuman, atau malah sudah yang lebih jauh lagi. Masalah ini tidak ada pada istilah “jodoh” karena batas-batasnya telah didefinisikan dengan jelas. Kalau orang tua tahu bahwa anaknya memiliki “jodoh”, maka orang tua tersebut bisa tenang karena berdasarkan batasan “jodoh” bersentuhan pun tidak boleh dilakukan anaknya.

Dokumen panduan di atas juga tidak mendefinisikan bahwa pemanah haruslah laki-laki. Menurut saya, tidak masalah kalau perempuan yang memanah, toh yang penting nanti keduanya sama-sama setuju untuk berjodohan.

Kalau kamu setuju dengan konsep perjodohan seperti yang telah disebutkan tadi (mungkin malah ingin mencobanya), langkah terakhir yang diperlukan adalah sosialiasi istilah beserta penjelasannya. Kalaupun kamu tidak setuju, kamu mungkin ingin menyebarkan tulisan ini untuk memicu diskusi lebih lanjut. Kalau ingin sosialisasi dalam skala besar, seluruh tulisan ini bisa diforward ke forum atau milis tertentu. Bisa juga diforward ke teman-teman terdekat kamu. Kalau tujuan kamu sebatas ingin memanah seseorang, pastikan orang tersebut membaca tulisan ini sebelum memanahnya. Namun kamu harus cepat, sebab siapa tahu orang lain lebih dulu memanah dia :).